“Analisis Tingkat Kesejahteraan di Provinsi Jawa dan Luar
Jawa”
oleh : Alinda Permatasari
Suatu masyarakat atau penduduk suatu kota,
provinsi atau negara dikatakan sejahtera jika setidak-tidaknya output
pendapatan per kapita meningkat. Dalam literatur ekonomi, tingkat kesejahteraan tersebut
diukur dengan PDB per kapita. Makin tinggi PDB per kapita, makin sejahtera
masyarakat. Agar PDB per kapita terus meningkat, maka perekonomian harus terus
tumbuh dan harus melebihi tinggi daripada tingkat pertambahan penduduk.
Misalnya, jika pertambahan penduduk suatu Negara adalah 2% per tahun, maka
pertumbuhan PDB harus lebih besar dari 2% per tahun. Untuk mengetahui dan
menganalisis tingkat kesejahteraan di provinsi jawa dan luar jawa, kita harus
memiliki data-data yang diperlukan, antara lain : tingkat kemiskinan, tingkat
pengangguran dan tingkat
ketimpangan di provinsi tersebut. Berikut data terkait yang telah saya rangkum
:
1.
Tingkat Kemiskinan
Jawa Barat
Jumlah
penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa
Barat pada bulan Maret 2013 sebesar
4.297.038 orang (9,52 persen). Dibandingkan dengan bulan September 2012 yang
berjumlah 4.421..484 orang (9,89 persen), jumlah penduduk miskin bulan Maret
2013 mengalami penurunan sebesar 124.446 orang (0,37 persen).
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada
dibawah Garis Kemiskinan) diProvinsi Jawa Tengah pada
Maret 2012 mencapai 4,977 juta orang
(15,34 persen), berkurang 130 ribu orang (0,42 persen) jika
dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang sebesar
5,107 juta orang (15,76 persen).
DKI Jakarta
Jumlah penduduk
miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2013 sebesar 375,70 ribu orang (3,72
persen). Dibandingkan dengan Maret 2013 (354,19 ribu orang atau 3,55 persen),
jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 21,51 ribu atau meningkat 0,17 poin.
Sedangkan dibandingkan dengan September 2012 dengan jumlah penduduk miskin
sebesar 366,77 ribu orang (3,70 persen), jumlah penduduk miskin meningkat 8,93
ribu atau meningkat 0,02 poin.
Banten
Pada bulan September 2013, jumlah penduduk miskin
(penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di
Banten mencapai 682,71 ribu orang (5,89 persen), meningkat 26,47 ribu orang,
dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2013 yang sebesar 656,24 ribu
orang (5,74 persen). Selama periode Maret 2013 - September 2013, jumlah penduduk
miskin di daerah perkotaan bertambah 50,66
ribu orang (dari 363,80 ribu orang pada Maret 2013 menjadi 414,46 ribu orang
pada September 2013), sementara di daerah perdesaan berkurang 24,20 ribu orang
(dari 292,45 ribu orang pada Maret 2013 menjadi 268,25 ribu orang pada
September 2013).
DI Yogyakarta
Pada
September 2013 persentase penduduk miskin kota dan desa di DIY menunjukkan sebesar
15,03%. Angka
tersebut memang turun dari periode yang sama tahun 2012. Namun tingkat
kemiskinan di DIY tetap menjadi yang terbesar di antara seluruh Provinsi di
Jawa.
Bali
Persentase Penduduk Miskin di Provinsi
Bali Menurut Klasifikasi Daerah Tahun 2003 - 2013
Kalimantan
Selatan
Tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan selama periode Maret 2013 - September 2013 mengalami penurunan yaitu dari 4,77 persen (Maret 2013) menjadi 4,76 persen (September 2013). Selama periode Maret 2013 - September 2013, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan bertambahsebanyak 8.918 orang (dari 52.048 orang pada Maret 2013 menjadi 60.966 orang pada September 2013), sementara di daerah perdesaan berkurang sebanyak 7.384 orang (dari 129.691 orang pada Maret 2013 menjadi 122.307 orang pada September 2013). Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2013 sebesar 3,25 persen, naik menjadi3,75 persen pada September 2013. Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah perdesaan turun, yaitu dari 5,88 persen pada Maret 2013 menjadi 5,50 persen pada September 2013.
Sulawesi Selatan
Data BPS menyebutkan pada Maret 2006 penduduk miskin di Sulsel sebanyak 1.112.0 ribu orang atau 14,57 persen dari populasi. Pada Maret 2007, turun menjadi 1.083,4 ribu orang (14,11) persen dari populasi penduduk Sulawesi Selatan. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang stabil pada tahun 2012 memacu perekonomian masyarakat, angka kemiskinan turun dari 14,11 persen pada Januari-September 2007 menjadi 10,11 persen pada periode sama 2012.
NTT
Persentase penduduk miskin di Nusa Tenggara Timur pada bulan September 2013 sebesar 20,24 persen turun sebesar 0,17 persen dari 20,41 persen pada September 2012. Walaupun turun, tetapi secara absolut naik sebesar 8,86 ribu orang dari 1.000,29 ribu orang menjadi 1.009,15 orang pada periode yang sama. Berdasarkan daerah tempat tinggal, selama periode September 2012 – September 2013, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan mengalami penurunan sebesar 2,11 persen sementara daerah perdesaan mengalami peningkatan sebesar 0,28. Garis Kemiskinan naik sebesar 12,84 persen, yaitu dari Rp 222.507,- per kapita per bulan pada September 2012 menjadi Rp 251.080,- per kapita per bulan pada September 2013.
Maluku
Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Maluku pada bulan Maret 2012 sebesar 350.230 orang (21,78 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2011 yang berjumlah 360.320 orang (23 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebanyak 10.090 orang. Selama periode Maret 2011—Maret 2012, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 8.960 orang, sementara di daerah perkotaan berkurang 1.130 orang. Persentase penduduk miskin di daerah perdesaan masih cukup tinggi, yaitu sebesar 28,88 persen dibandingkan dengan daerah perkotaan mencapai 9,78 persen.
2. Tingkat Pengangguran
Jawa Barat
Jawa Timur
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Timur pada
Februari 2013 mencapai 4,00 persen, menurun dibanding TPT Agustus 2012 (4,12
persen) dan TPT Februari 2012 (4,14 persen). Jumlah angkatan kerja di Jawa
Timur pada Februari 2013 mencapai 20,095 juta orang, bertambah sekitar 0,194
juta orang dibanding angkatan kerja Agustus 2012 sebesar 19,901 juta orang, dan
juga lebih tinggi 0,264 juta orang dibanding Februari 2012 sebesar 19,831 juta
orang. Jumlah penduduk yang bekerja di Jawa Timur pada Februari 2013 mencapai
19,291 juta orang, bertambah sekitar 0,209 juta orang dibanding keadaan Agustus
2012 sebesar 19,082 juta. BPS juga menyimpulkan bahwa keadaan ketenagakerjaan
di Jawa Timur pada Februari (Triwulan I) tahun 2013 menunjukkan adanya
perbaikan dibandingkan keadaan Agustus 2012. Hal ini terihat dari peningkatan
jumlah angkatan kerja dan penurunan tingkat pengangguran.
Jawa Tengah
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah
pada Februari 2013 mencapai 5,57 persen, mengalami penurunan sebesar 0,06
persen dibanding TPT Agustus 2012 dengan nilai TPT sebesar 5,63 persen dan jika
dibandingkan dengan Februari 2012 juga mengalami penurunan sebesar 0,31 persen
poin dengan nilai TPT sebesar 5,88 persen.
DKI Jakarta
Selama periode Februari 2012 - Februari 2013, angka tingkat
pengangguran terbuka (TPT) mengalami penurunan dari 10,72 persen menjadi 9,94
persen, atau turun sebesar 0,78 poin. Menurut jenis kelamin, TPT laki-laki
mengalami penurunan dari 9,34 persen menjadi 8,46 persen, sementara TPT
perempuan mengalami penurunan dari 12,86 persen menjadi 12,27 persen. Secara
absolut, jumlah penganggur mengalami penurunan sebesar 53,34 ribu orang dari
566,51 ribu orang pada Februari 2012 menjadi 513,17 ribu orang pada Februari
2013. Selama periode Februari 2012 – Februari 2013, penganggur laki-laki
mengalami penurunan 32,20 ribu orang, sementara penganggur perempuan mengalami
penurunan sebesar 21,14 ribu orang.
Banten
Angka pengangguran di Provinsi Banten periode
Februari 2012 menempati urutan tertinggi dibandingkan provinsi lain di
Indonesia, yaitu mencapai 10,74 persen dari jumlah penduduk di Banten.
Pengangguran di Banten ini didominasi oleh warga pribumi, bukan warga
pendatang.
DI Yogyakarta
Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di DIY selama periode
2009-2012 berada pada kisaran 70 persen. Secara kasar, angka ini menggambarkan
besarnya proporsi penduduk berusia kerja yang terlibat aktif dalam kegiatan
perekonomian baik yang berstatus bekerja maupun mencari kerja atau penganggur.
Dibandingkan dengan periode sebelumnya, TPAK tahun 2012 sedikit mengalami peningkatan
hingga mencapai 70,85 persen. Proporsi bukan angkatan kerja mencapai 30,31
persen terdiri dari penduduk yang bersekolah, mengurus rumah tangga dan
lainnya. Bagian dari angkatan kerja yang tidak terserap oleh pasar tenaga kerja
termasuk dalam kategori pengangguran terbuka (TPT). Selama periode 2006-2012,
TPT DIY cukup berfluktuasi dan memiliki.
Bali
Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Bali pada Februari 2013 mencapai 1,89
persen, mengalami penurunan dibanding TPT Agustus 2012 sebesar 2,04 persen dan TPT
Februari 2012 sebesar 2,11 persen.
Sumatera Utara
Jumlah
angkatan kerja di Provinsi Sumatera Utara dalam kurun waktu satu tahun
bertambah sebanyak 80.477 orang. Pada Februari 2009, jumlah angkatan kerja di
daerah ini sebanyak 6.322.414 orang, dan pada Februari 2010 naik menjadi
6.402.891 orang. Jumlah penduduk yang bekerja di Provinsi
Sumatera Utara pada Februari 2010 sebanyak 5.890.066 orang, dan pada Februari
2009 sebanyak 5.800.771 orang. Dengan demikian, selama kurun waktu satu tahun,
jumlah penduduk yang bekerja bertambah sebanyak 89.295 orang. Jumlah pengangguran berkurang sebanyak 8.818 orang
dalam kurun waktu satu tahun. Pada Februari 2009, jumlah penganggur di Provinsi
Sumatera Utara sebanyak 521.643 orang, dan pada Februari 2010 turun menjadi
512.825 orang. Tingkat pengangguran
terbuka (TPT) di Provinsi Sumatera Utara turun dari 8,25 persen pada Februari
2009 menjadi 8,01 persen pada Februari 2010. Jumlah penduduk yang bekerja dibawah jam kerja
normal (kurang dari 35 jam seminggu) atau setengah penganggur pada Februari
2010 sebanyak 1.842.206 orang.
Kalimantan
Selatan
Jumlah penduduk angkatan kerja pada Februari 2013
sebesar 1.937.493 jiwa. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 2,65
persen, bila dibandingkan pada Februari 2012 yang berjumlah 1.887.434 jiwa. Penduduk yang
bekerja pada Februari 2013 mencapai 1.861.648 jiwa, mengalami penambahan sebesar 55.707 jiwa dibandingkan pada
Februari 2012 yang berjumlah 1.805.941 jiwa. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah
3,91 persen. Jumlah tersebut
mengalami penurunan dibandingkan keadaan Februari 2012 yang sebesar 4,32
persen.
Sulawesi
Selatan
Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulawesi Tengah pada Februari 2013 sebesar 2,65 persen (35.078 orang), mengalami
penurunan dibanding keadaan Februari dan Agustus 2012 masing-masing mencapai
3,73 persen (50.465 orang) dan 3,93 persen (47.621 orang). Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) Sulawesi Tengah terbesar pada angkatan kerja yang berpendidikan
SMA umum sebesar 3,92 persen diikuti SMA kejuruan 3,24 persen dan terendah
berpendidikan SMP sebesar 1,15 persen .
NTT
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT
Agustus 2013 mencapai 3,16 persen, naik 0,27 poin dari Agustus 2012
sebesar 2,89 persen. Secara nasional TPT Indonesia pada Agustus 2013 mencapai
6,25 persen, jauh lebih tinggi dari TPT NTT. Pada tingkat kabupaten/kota,
TPT terendah di Kabupaten Sumba Tengah 0,50 persen, Nagekeo 1,15 persen dan
Ngada 1,27 persen, sedangkan TPT tertinggi di Kota Kupang 8,89 persen,
Kabupaten Sabu Raijua 4,59 persen dan Ende 4,31 persen. Penganggur di NTT pada
Agustus 2013 sebesar 67,8 ribu orang, bertambah 5,5 ribu orang (8,76 persen)
dibanding penganggur Agustus 2012 sebesar 62,3 ribu orang.
Maluku
Provinsi Maluku terhitung sampai Februari 2013,
angka pengangguran secara terbuka menurun sebesar 6,73 persen. Data Badan Pusat
Statistik (BPS) Maluku menyebutkan,Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di
Provinsi Maluku pada Februari 2013 sebesar 6,73 persen, mengalami penurunan
cukup signifikan dibanding TPT Agustus 2012 yang sebesar 7,51 persen.
3. Tingkat Ketimpangan diberbagai Bidang
3. Tingkat Ketimpangan diberbagai Bidang
Latar belakang
demografi, geografis, ketersediaan infrastruktur dan budaya yang tidak sama,
serta kapasitas sumber daya yang berbeda, memiliki konsekuensi adanya
keberagaman kinerja daerah dalam
pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan yang berujung
pada ketimpangan diberbagai bidang. Ketimpangan pembangunan antarwilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat
kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antarwilayah.
Ketimpangan pembangunan antarwilayah juga ditandai dengan
rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial
terutama masyarakat di perdesaan, wilayah terpencil, perbatasan serta wilayah
tertinggal. Ketimpangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan ditunjukkan oleh
rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa, tertinggalnya pembangunan
kawasan perdesaan dibanding dengan perkotaan, dan tingginya ketergantungan
kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya
akses pada permodalan, lapangan kerja, informasi, teknologi pendukung, dan
pemasaran hasil-hasil produksi di perdesaan. Ketimpangan desa-kota juga
disebabkan oleh urbanisasi dan proses aglomerasi yang berlangsung sangat cepat.
Saat ini, terdapat 14 kota metropolitan di Indonesia yang sebagian besar (11
kota) terletak di Jawa.
Seperti kita ketahui bahwa DKI Jakarta merupakan
salah satu tujuan investasi modal terbesar di Indonesia. Data BPS tahun 2004
menunjukkan bahwa angka kemiskinan di DKI Jakarta hanya sekitar 3,18 persen,
sedangkan di Papua sekitar 38,69 persen. Ketimpangan pelayanan sosial dasar
yang tersedia, seperti pendidikan, kesehatan dan air bersih juga terjadi
antarwilayah, dimana penduduk di Jakarta rata-rata bersekolah selama 9,7 tahun,
sedangkan penduduk di NTB rata-rata hanya sekolah selama 5,8 tahun. Hanya
sekitar 30 persen penduduk Jakarta yang tidak mempunyai akses terhadap air
bersih dan aman, tetapi di Kalimantan Barat lebih dari 70 persen penduduk tidak
mempunyai akses terhadap air bersih.
Beberapa daerah di provinsi Jawa,
baik Jawa Barat, Tengah maupun Timur juga memiliki sumber daya alam ataupun manusia serta
infrastruktur yang memadai. Jadi wajar saja apabila tingkat
kesejahteraan masyarakat di Jawa lebih tinggi daripada masyarakat diluar Jawa,
karena pendapatan per kapita nya yang besar. Meskipun pendapatan per kapita serta laju pertumbuhan
ekonomi Jawa berjalan lebih cepat dari provinsi lain, hal itu tidak menjamin
tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Ketimpangan tentu saja masih ada. Penyebabnya
pun beragam, namun hal yang menjadi sorotan ialah pendapatan yang belum merata.
Tidak
semua kota/kabupaten di provinsi Jawa sudah merasakan apa yang dinamakan
sejahtera. Karena
tidak semua wilayah atau daerah di Jawa memiliki SDA dan SDM yang memadai, hal
itu disebabkan oleh perbedaan potensi sumber daya yang berbeda antar satu
wilayah dengan yang lain karena pengaruh kondisi lingkungan (topografi,
geologi, hidrologi, klimatologi) dan ketersediaan infrastruktur penunjang
kesejahteraan masyarakat.
Beralih ke
timur Indonesia, dari lima sektor
besar di Maluku, empat sektor mengalami peningkatan jumlah tenaga kerja,
yakni sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, sektor industri,
sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi serta sektor jasa
kemasyarakatan, sosial dan perorangan. Sedangkan satu sektor lainnya, yakni
sektor yang merupakan gabungan sektor pertambangan dan penggalian, sektor
listrik, gas dan air minum, sektor konstruksi, sektor transportasi,
penggudangan dan komunikasi serta sektor lembaga keuangan secara akumulasi
mengalami penurunan jumlah tenaga kerja. Hal itulah yang membuat tingkat
pengangguran Maluku berkurang yang berarti tingkat pendapatan per kapita nya
naik atau setidaknya, tingkat kesejahteraan di Maluku pun ikut naik.
Di Bali, Sektor Perdagangan, Pertanian, Jasa Kemasyarakatan,
dan sektor Industri secara berurutan menjadi penampung terbesar tenaga kerja
pada bulan Februari 2013 dengan kontribusi masing-masing sebesar 29,24 persen,
24,69 persen, 16,07 persen, dan 13,17 persen dengan kenaikan terbesar pada
sektor keuangan serta pada sektor pertanian mengalami penurunan hingga 11,23
persen. Hal itu menggambarkan bahwa Bali kurang atau bahkan tidak memiliki
potensi dalan sektor pertanian. Bali lebih unggul dan mengedepankan sektor
perdagangan, jasa kemasyakatan sesuai dengan potensi daerahnya. Berbeda hal nya dengan Bali, struktur perekonomian
Sulawesi Selatan pada 2012 justru didominasi sektor pertanian, yang disusul pada
sektor perdagangan, restoran, dan hotel serta jasa-jasa.
Peranan komoditi
makanan terhadap Garis Kemiskinan di Kalimantan Selatan masih lebih besar
dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan,
dan kesehatan). Pada September 2013, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) terhadap garis Kemiskinan (GK) sebesar 71,68 persen, tidak jauh
berbeda dengan Maret 2013 yang sebesar 71,81 persen. Sama
hal nya dengan Kalimantan Selatan,
Peranan komoditi makanan di Nusa Tenggara Timur masih
jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada September 2012 sumbangan GKM terhadap
GK sebesar 79,16 persen, dan sebesar 79,17 persen pada September 2013.
Kembali lagi membahas
soal provinsi Jawa yang sangat kompleks. Anda pasti sangat heran apabila anda telaah
lebih tentang tingkat pengangguran dan kemiskinan di Banten. Jumlah
angka pengangguran di Provinsi Banten periode Februari 2012 menempati urutan
tertinggi dibandingkan provinsi lain di Indonesia, yaitu mencapai 10,74 persen
dari jumlah penduduk di Banten. Pengangguran di Banten ini didominasi oleh
warga pribumi, bukan warga pendatang. Padahal, semua sektor mengalami kenaikan
jumlah pekerja, lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja
terdapat di sektor perdagangan, yang menyerap 1.195.674 orang atau hampir dari
seperempat penduduk yang bekerja (24,81 persen), disusul oleh sektor industri
yang menyerap pekerja sebanyak 1.019.426 orang atau 21,4 persen. Sedangkan pekerja
yang berstatus buruh atau karyawan memiliki jumlah tertinggi dibandingkan
status pekerjaan lain, yaitu sebanyak 2.404.785 orang. Namun jangan dulu
menganggap bahwa Banten adalah provinsi termiskin di Indonesia atau di Jawa.
Walau pengangguran di Banten tertinggi di Indonesia, tetapi angka TPT di Banten
pada Februari 2012 ini mengalami penurunan dari 13,50 persen menjadi 10,74
persen. Seperti potret ketertinggalan sejumlah tempat di Banten yang tiba-tiba
terbuka, fakta tentang angka kemiskinan terbesar di Jawa pun begitu
mengejutkan. Siapa sangka provinsi termiskin se-Jawa adalah Daerah
Istimewa Yogyakarta. Rasanya tak mungkin
DIY yang melesat hebat sebagai kota jasa dan wisata dengan sejumlah simbol
pembangunan kotanya yang menggurita justru menyimpan kondisi yang sebaliknya.
Masalah kependudukan memang dipahami banyak pihak menghimpit DIY, tapi
kemiskinan apakah begitu dahyat? Faktanya meski menyandang status Daerah
Istimewa angka kemiskinan DIY ternyata tak kalah “istimewa”. Data Badan
Pusat Statistik (BPS) terkini pada September 2013 menunjukkan persentase
penduduk miskin kota dan desa di DIY sebesar 15,03%. Angka tersebut memang
turun dari periode yang sama tahun 2012. Namun tingkat kemiskinan di DIY tetap
menjadi yang terbesar di antara seluruh Provinsi di Jawa. Sebagai gambaran
DKI Jakarta yang dikenal memiliki banyak penduduk miskin kota persentase
kemiskinannya sebesar 3,72%. Sementara Banten yang dikenal sebagai salah satu
provinsi tertinggal memiliki angka kemiskinan 5,89%. DIY pun masuk ke dalam 10
besar provinsi termiskin di Indonesia.
Data BPS terbaru pada September 2013 tentang jumlah dan persentase
penduduk miskin Indonesia menurut Provinsi. DIY dengan persentase kemiskinan
15,03% menjadi yang tertinggi se-Jawa (www.bps.go.id)
Beberapa aspek
kehidupan masyakarat yang diduga menyebabkan tingginya kemiskinan di DIY adalah
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, ketiadaan usaha produktif meliputi
keterampilan dan daerah yang kurang produktif serta ketiadaan
modal. Tingginya kemiskinan di DIY diduga kuat akibat dari lesatan
pertumbuhan sektor perekonomian yang cenderung padat modal dan dikuasai
investor tertentu.
4. Hasil Analisis
Dari data tingkat
kemiskinan dan tingkat pengangguran serta tingkat ketimpangan diberbagai bidang
diatas, dapat disimpulkan bahwa provinsi Jawa sebagai wilayah dengan aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana
ekonomi dan sosial yang tinggi, akses pada permodalan, lapangan kerja, informasi,
teknologi pendukung, dan pemasaran hasil-hasil produksi
yang juga sangat tinggi, sebagai pusat atau konsentrasi dihampir seluruh sektor
industri, belum dikatakan sejahtera walaupun DKI Jakarta sebagai Ibu Kota yang
terletak di pulau Jawa memiliki tingkat kemiskinan yang rendah disbanding
daerah lain, lalu diikuti provinsi-provinsi Jawa lainnya, karena masih adanya daerah-daerah
dan provinsi tertinggal yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi yaitu di
Provinsi DI Yogyakarta. Hal itu dapat terjadi karena adanya kesenjangan atau
tidak meratanya distribusi pendapatan disetiap provinsi. Beberapa provinsi lain
diluar Jawa membuktikan bahwa tingkat kesejahteraan mereka dapat melebihi Jawa.
Salah satu upaya
penanggulangan masalah ketimpangan ini adalah dengan menekan angka pertumbuhan
penduduk. Karena tingkat kesejahteraan akan membaik jika tingkat pertumbuhan
ekonomi melebihi tingkat pertumbuhan penduduknya. Menekan laju pertumbuhan
penduduk dapat dilakukan dengan cara membuat kebijakan tentang Keluarga
Berencana (KB). Peraturan ini memang sudah lama disosialisasikan, namun kurangnya
kesadaran masyarakat itu sendiri membuat tingkat pertumbuhan penduduk semakin
hati semakin bertambah.nUkuran kesejahteraan tidaklah hanya dilihat berdasarkan
perkembangan historis perekonomian yang bersangkutan, tetapi juga prekonomian
lain yang dianggap telah lebih maju. Mengingat manusia adalah salah satu faktor
terpenting dalam proses produksi, maka dapat dikatakan kesempatan kerja akan
meningkat bila output meningkat. Besar kecilnya itu bergantung pada teknik produksi
atau tingkat teknologi yang digunakan dan tingkat efisiensi. Distribusi
pendapatan yang baik akan menghasilkan tingkat kesejahteraan yang merata pula.
Tetapi tanpa adanya pertumbuhan ekonomi, yang terjadi adalah pemerataan
kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi hanya akan menghasilkan distribusi pendapatan
bila memenuhi setidaknya dua syarat, yaitu memperluas kesempatan kerja dan
meningkatkan produktifitas. Meningkatkan investasi swasta dengan memberikan
kemudahan-kemudahan dan insentif investasi sehingga investor mau menamkan
modalnya. Investasi juga diarahkan pada daerah-daerah yang kurang maju dengan
membangun sarana dan prasarana yang mendukung dalam berinvestasi adalah langkah
yang baik dan patut dicoba atau diterapkan untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan
yang dihadapI Indonesia. Peningkatan jumlah angkatan kerja yang juga harus
diimbangi dengan kesempatan kerja yang lebih banyak. Tentunya dengan kegiatan
investasi di atas dapat meningkatkan kesempatan kerja. Kesempatan kerja
sebaiknya juga diciptakan pada semua daerah dan tidak mementingkan daerah
tertentu. Dengan meluasnya kesempatan kerja, maka akses rakyat untuk memperoleh
penghasilan makin besar.
Sumber :