“Tuhan Memang Satu Kita Yang Tak Sama”
Oleh : Alinda Permatasari
“Because
I’m naughty naughty, hey.. I’m Mr.Simple. Because I’m naughty naughty..”. Jam
00.00 tepat alarm diponsel ku berbunyi,menandakan hari ini adalah tanggal 24 juli. Sebenarnya sampai detik itu pun aku
belum tidur, mataku masih terjaga menunggu saat-saat yang menurutku
penting. Ya, hari ini adalah hari ulang
tahunku tepatnya yang ke-17. Aku sangat menunggu-nunggu hari spesial ini,
padahal entah apa yang akan terjadi hari
ini aku tidak tahu pasti hari ini akan menyenangkan atau tidak. Aku hanya bisa
berdoa semoga hari ini indah dan tidak mengecewakan karena sudah berharap
banyak.
Tak
lama aku tinggal ke kamar kecil, ku lirik ponsel ku yang berada disamping
bantal berkedip-kedip merah, ku lihat ada beberapa mention masuk ditwitter.
“selamat
ulang tahun @alindaPepe, semoga panjang umur dan sehat selalu serta dimudahkan
dalam mencapai cita-citanya”, ucap Aa Ucup dari akun twitternya, Selasa 24 juli
2012 00:01 melalui Hotot for Chrome.
Selang
satu menit dari mention sebelumnya, ada mention
yang belum ku baca dan ternyata dari orang yang ku tunggu-tunggu.
“happy
birthday @alindaPepe, semoga dilancarkan dalam segala hal. Download-nya cepat selesai hehe. Amin. God bless you”. Simple
tetapi penuh arti! Aku langsung paham dengan kode atau istilah ‘download’ tersebut. Betapa girangnya aku
mendapat ucapan dari nya.
Mention
terakhir yang ku terima pada saat itu adalah dari teman sekelasku Diky.
“happy
milad cewek jomblo!!”, ucap Diky.
Membacanya
aku hampir pingsan karena malu dengan ucapannya tersebut. Entah hanya berniat
memberi ucapan selamat ulang tahun atau ada maksud lain aku tidak tahu, yang
aku tahu itu terdengar seperti ledekan yang biasa dia lontarkan padaku, “cewek
jomblo”.
Aku mulai
mengetik, aku membalas mention-mention
yang masuk tersebut. Tidak terkecuali ucapan dari Diky yang sebenarnya tidak
butuh balasan.
“terimakasih Dik!”, balasku ketus.
Aku mencoba tidur karena waktu sudah
menunjukan pukul 00.20 walaupun sebenarnya aku belum mengantuk, tetapi jam
03.30 aku harus bangun lagi untuk makan sahur dan tentunya aku harus pergi
sekolah dan tidak boleh terlambat.
***
Awalnya
selama di sekolah aku merasa tidak ada yang spesial, karena semua tampak
seperti biasanya. Setelah bel pulang aku memang tidak langsung pulang karena
ada janji untuk kumpul ekskul cheerleader di pohon asam. Aku berniat untuk
menyampar temanku Vera dan Ratih yang ada di kelasnya untuk sama-sama kumpul dengan
anggota cheerleaders lain. Tetapi setelah berada di kelasnya, perasaanku mulai
tidak enak karena mereka mengajak ku untuk duduk dan tampak seperti menahanku untuk
pergi dari sana.
Tak
lama kemudian aku bertemu Ary, dia adalah orang yang aku tunggu-tunggu yang ku
maksud tadi. Dia mengampiriku, aku tau ini akan terjadi karena kemarin dia
sudah bilang padaku bahwa dia ingin bicara sesuatu. Tapi alangkah terkejutnya
aku saat dia mengatakan “kamu mau nggak jadi pacar aku?”
Setengah
tertawa namun bahagianya luar biasa saat mendengarnya itu, karena sudah lama
aku ingin mendengar dia mengatakan itu langsung dihadapanku. Aku tak butuh
waktu lama untuk menjawab pertanyaannya tersebut. Aku langsung mengiyakan nya, karena
kurasa proses kita sampai seperti sekarang itu sudah cukup lama dan panjang.
“mmm.. iya aku mau.”, ucap ku pelan.
“apa?beneran?kamu serius?”, timbal
Ary padaku dengan ekspresi khas nya.
“iya,beneran. Aku mau jadi pacar
kamu.”, balas ku malu.
“makasih
Lin,maksih banyak ya!”, ucap Ary sambil menatapku dengan tatapan yang belum
pernah aku lihat.
Aku
merasa sejak tadi ada yang menguping pembicaraan ku berdua dengan Ary. Benar
saja, setalah kami bangun dari tempat duduk tampak Vera dan Ratih bersorak,
“yeeeeeaaaaah akhirnya jadian juga!!”.
Aku
sangat malu, tetapi belum sempat aku menghela nafas Vera, Ratih dan Ary sudah
menyeretku kembali ke kelas yang ternyata teman-teman sekelasku sudah
menyiapkan surprise dengan kue tar
kuning dan balon-balon serta pinata sambil menyanyikan lagu “happy birthday”. Terharu sekali aku
berada dalam suasana seperti itu, teman-teman yang care serta pacar baru yang sudah lama aku harapkan berkumpul
merayakan hari spesialku itu.
***
“Orang yang ada dihadapanku tadi,
sekarang pacarku? Teman saat kelas X ku dulu, sekarang pacarku? Ary Pardomuan
Silitonga, sekarang pacarku?”, terlintas pertanyaan konyol yang ada didalam
lamunanku, seakaan tak percaya dengan kenyataan yang ada saat ini. Awalnya aku
bingung harus senang atau sedih, jadian dengan dia adalah salah satu harapanku
semenjak beberapa waktu lalu, aku juga senang dihari ulang tahunku ini terasa
makin sempurna berkat kehadirannya. Tapi, tahukah dia jika aku sedih apabila
mengingat perbedaan diantara kita? Kurasa ini perbedaan yang sangat muthlak.
Yaa.. masalah kepercayaan. Memang sih masalah perbedaan agama dan kepercayaan
dalam suatu hubungan itu relatif, tergantung dari orang itu menyikapinya.
Tetapi bagiku ini bukan masalah kecil, mengingat aku banyak berharap dari
hubungan kita kelak. Walaupun aku sudah pernah dan sering memikirkan masalah
ini jauh sebelum kita jadian, namun jawabannya semakin membuatku bingung dan
rasanya seperti buntu tidak ada jalan keluar. Sempat terpikir aku tidak akan menerimanya
jika dia menembakku, walaupun rasanya tidak ingin melakukannya. Bayangkan saja
bagaimana rasanya membohongi perasaan sendiri, sakit bukan?. Namun entah apa
yang membuatku berubah pikiran, yang jelas pada saat itu aku seperti tidak
berpikir panjang.
Sebagian
besar remaja seumuran kita mungkin memang pacaran tidak dianggap serius, just for fun deh pokoknya. Tetapi bagiku
pacaran itu butuh komitmen, yaaa.. memang sih untuk remaja labil sepertiku
rasanya terlalu berat dan terlalu jauh untuk memikirkan ke tahap yang lebih
serius. Tetapi bukan tidak mungkin kan, hubungan yang dijaga dengan baik dari
sekarang bisa berlanjut sampai kita dewasa nanti. Apa salahnya? Jadi kurasa
pacaran juga tidak boleh asal, asal pilih, asal suka, asal jadi.
Nah,
dari pola pikirku seperti itulah yang membuat aku tidak tidur seharian ini.
Bagaimana bisa suatu hubungan bisa berjalan dengan baik apabila terdapat banyak
perbedaan diantara keduanya? Beda latar belakang, dia batak aku sunda, dia
kristen aku islam, aaah pokoknya masih banyak lagi!.
***
Hari-hariku
penuh dengan Ary. Hampir tidak pernah aku merasa sepi semenjak ada dia, mungkin
karena sifatnya yang ramah, selalu ceria dan pastinya humoris. Yaaa.. itu
memang image-nya, ku yakin semua
orang tahu itu. Coba saja tanya anak-anak satu sekolah ini! Siapa sih yang
tidak tahu tentang hal itu?.
Mungkin
itu juga salah satu alasan mengapa aku menyukainya. Tetapi sekarang aku dapat
mengenalnya lebih dari yang orang lain kenal, aku merasa beruntung bisa
merasakan kasih sayang seorang Ary.
Sehari
dua hari, seminggu dua minggu, sampai
satu bulan lebih saat ini kita semakin mengenal satu sama lain, kita saling support, saling mengerti dan tentu kita
saling menghargai perbedaan diantara kita yang kadang sangat terlihat dan
menonjol atau kadang seakan melebur menjadi satu. Tetapi tidak dipungkiri juga
bahwa aku sering merasakan egonya Ary muncul, aku tau agamanya adalah yang
terbaik baginya, begitu pula bagiku, agamaku adalah yang terbaik bagiku. Kita
tidak akan pernah menyatu dalam masalah itu. Karena pada saat seperti itu aku
merasa sangat berbeda dengan Ary.
Suatu hari Ary pernah mengajakku
bicara, wajahnya tampak serius, tidak seperti biasanya. Tidak ada roman ceria
atau canda disela pembicaraannya itu.
“lin,
kamu tau kan aku sebelumnya nggak pernah pacaran sama orang yang beda agama?”,
tanyanya to the point.
“ya aku tau, aku juga begitu.”,
jawabku heran.
“bahkan
kamu juga tau kan aku jarang banget pacaran?”, suaranya makin tinggi.
“ya,
aku juga tau. emang kenapa?”
“
aku juga nggak pernah mengenalin pacar aku ke orang tua.”
“terus?
Aku nggak ngerti apa yang kamu omongin.”, aku semakin heran.
“kakakku
tau kita pacaran, kakakku juga tau kita ‘beda’, rasanya kakakku tidak suka dengan.....”, dia berhenti bicara
sambil menundukan kepalanya.
Aku
diam, sungguh aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku menunggu dia bangun dan
melanjutkan pembicaraan.
“kakakku
bilang aku harus belajar serius, nggak boleh pacaran, apalagi sama cewek yang
beda agama.”, matanya berkaca-kaca.
Aku
masih belum bisa bicara apapun, aku terpaku menatap matanya. Tidak pernah
sebelumnya aku melihat Ary seperti ini. Jujur, aku sedih mendengarnya. Hatiku
sakit!.
“haha..
Oya? kengapa begitu? Apa kamu jadi malas belajar karena aku?”, aku berusaha
mencairkan suasana.
“bukan,
bukan begitu.”
“lalu
kengapa? Apa aku buat kamu jadi anak yang nakal?”, aku menggodanya, aku merangkul
pundaknya.
“nggak
nggak sama sekali! Aku merasa semenjak ada kamu aku banyak berubah, aku merasa
menjadi lebih baik.”, dia seperti berusaha meyakinkanku.
“biar
aku pergi menjauh dari kamu yaaa.. mungkin ini yang terbaik.”, aku tersenyum
walau dalam hati menangis.
Aku
langsung meninggalkannya, aku menuju kelasku. Aku pun segera meninggalkan kelas
ketika bel pulang berbunyi. Memang tidak seperti biasanya, karena biasanya Ary
selalu ke kelasku setelah bel pulang dan kita selalu pulang bersama-sama.
Sampai dirumah aku ingin sekali
melupakan apa yang Ary bicarakan. Aku ingin menganggap semua baik-baik saja.
Tetapi malah sebaliknya, aku terus memikirkannya.
“Ya
Allah, aku tau ini pasti akan terjadi. Aku tau ini hubungan ini tidak akan
semudah dan selancar seperti yang kita harapkan, aku tau akan seperti apa
jadinya reaksi atau respon dari orang disekeliling kami, terutama keluarga
kami. Ya Allah, aku ingin tetap bersamanya, aku bahagia dengannya. Jika dia
jodohku maka dekatkanlah, mudahkan jalan kami. Tetapi jika dia bukan jodohku
maka berikan yang lebih baik darinya.”, keluhku dalam hati sambil menatap
fotoku bersama Ary, tak sadar air mataku berlinang. Aku tidak ingin menangis,
aku sedang berpuasa. Aku berpikir lebih baik aku shalat, lalu aku segera
menghapus air mataku dan berwudhu.
Aku
merasa lebih baik setelahnya. Aku juga sudah jauh lebih tenang.
***
Keesokan harinya aku mulai bersikap
seperti biasa lagi setelah sebelumya kemarin semenjak kejadian itu aku
mengabaikan semua SMS dari Ary. Aku
sadar ini bukan kehendaknya, bukan kemauannya juga. Maka, setelah kita
menyelesaikan masalah kemarin, kita menemukan jalan keluar yaitu apapun masalahnya
kita akan hadapi sama-sama. Walaupun dikatakan jika kita disatukan untuk
dipisahkan tetapi kita percaya mukjizat itu ada dan kita percaya akan hal itu,
karena ku yakin pada intinya semua ajaran agama adalah sama. Tuhan memang satu,
tetapi kita yang tak sama.
Sekarang aku menanggapi masalah
tersebut dengan santai. Kita menjalani hari-hari seperti biasa, hanya saja kita
tidak pernah menunjukkan kemesraan kita lagi di dunia maya seperti di twitter atau akun jejaring sosial kita
lainnya. Berhubung masalah ini berawal mula dari mention-mention-an ku dengan Ary di twitter yang mungkin dianggap atau terlihat sangat akrab dan intim
oleh kakaknya Ary tersebut. Ary bilang kakaknya itu sering nge-stalk timeline-ku. Dia mencari tau banyak tentang aku dari profil dan tweet-tweet-ku yang aku update. Maka dari itu, mulai saat ini
kita sepakat untuk backstreet dari
keluarga kita masing-masing. Kita sangat menjaga sekali privacy kita berdua dari keluarga kita.
***
“aku
takut pulang, aku nggak mau pulang.”, ucap Ary padaku saat kita berada disebuah
rumah makan usai buka puasa bersama.
“apa?
Kenapa?”
“aku
nggak siap, aku nggak mau pulang!”, Ary semakin gerah.
“ayo
ceritain, apa yang bisa aku bantu?”, aku menanggapi dingin.
“kakakku
yang kemarin aku ceritain.....”
“iya?
Kenapa? Apa ada masalah lagi?”, aku tetap tersenyum, aku tidak ingin sekalipun
dia melihat aku bersedih karena masalah ini. Aku ingin yang dia tau aku selalu
ceria dihadapannya
“hari
ini dia pulang ke Karawang, aku membayangkan dia mengatakan semuanya tentang
hubungan kita pada orang tua ku.”, mukanya memucat.
“hadapi!
Jangan takut sayang! Bukankah kita udah pernah ngomongin tentang hal ini?
Bukankah kita percaya mukjizat?”, aku selalu tersenyum mengahadapi Ary yang ku tau
ternyata dia tidak lebih dewasa dariku.
Dia
diam, tidak mengatakan apapun lagi setelah aku bicara seperti itu. Saat itu
juga aku sedih, jauh lebih sedih dari apa yang Ary rasa. Bisa-bisanya aku
menasehati dia, mengatakan ini itu lah, padahal jika aku menengok ke dalam
diriku sendiri aku belum tentu mampu menghadapinya.
Aku sebenarnya tidak biasa
menutup-nutupi segala sesuatu dari kedua orang tua, terutama mamahku. Biasanya
aku mengenalkan pacarku ke rumah, atau kalau belum sempat aku kenalkan, mamah
sudah tau bahwa aku cowok yang sering main ke rumah atau sekedar mengantarku
pulang itu adalah pacarku.
Tetapi
kali ini sepertinya aku berhasil menutupi semuanya, sejauh ini kedua orang
tuaku belum tau dan ku harap sih tidak akan pernah tau. Aku semakin bingung
karena aku takut sekali mengenalkan dan membawa Ary ke rumah, aku berpikir
pasti kedua orang tuaku tidak akan mengijinkan aku berhubungan dengan Ary
karena alasan perbedaan agama itu. Sekalipun boleh, mungkin hanya menjadi teman
saja. Tentu itu jauh dari apa yan kit aharapkan. “Ya Allah.. ini rumit sekali,
aku tertekan! Aku tidak sanggup.”, jeritku dalam hati.
Karena
ini sudah malam, akhirnya kita pulang.
“Jujur
aku benci perpisahan, karena hari ini Sabtu dan besok adalah Minggu. aku sangat
membencinya. Aku benci hari minggu, karena aku tidak dapat bertemu denganmu!
Tak peduli dalam satu minggu tidak ada libur sekolah, yang penting aku tetap
bisa bertemu denganmu!”, teriakku setangah menangis sambil memukul dadanya.
“aku
juga, aku nggak bisa kalau nggak melihat kamu sehari, rasanya....”, balas Ary
tersenyum manis sekali.
***
“dibawah
langitMu bersujud semua memuji memuja asmaMu....”, itu adalah sepenggal bait
lagu dari penyanyi religi Opick yang biasa digunakan sebagai tanda bel pulang di
sekolah. Aku sangat menanti-nantikan nya, tetapi kuyakin semua anak juga sama
sepertiku.
Aku
baru saja keluar kelas, tetapi Ary langsung menarikku membawaku ke joglo.
“cepatan ih, aku mau ngomong
sesuatu!”, ucap Ary dengan semangat.
“iya sebentar dong sayang,sabar”
“aku seneng banget! Seneng
bangeeeet!”, Ary merangkulku.
“ada apa?kenapa?”, aku penasaran.
“papah setuju, lin! Dia gak marah!”
“apa? Beneran?”
“iya, semalam kakakku pulang, dia
aduin soal hubungan kita. Aku pikir papah bakal marah.”
“terus papah kamu bilang apa?”, aku
seperti tidak percaya.
“kalau pacaran jangan berlebihan,
jangan ganggu belajar. Soal beda agama, asal iman kamu tetep kuat dan nggak
terpengaruh, papah mah nggak apa-apa”, Ary menceritakan apa yang papahnya
katakan.
“alhamdulillah.. aku seneng banget
dengernya!”, aku meraih tangan Ary.
“puji tuhan ya..”, timbal Ary.
Aku
lega sekali mendengarnya, ini seperti jawaban dari doa ku dan Ary selama ini.
Aku bahagia sekali, aku hampir tidak bisa mengungkapkannya. Ini seperti
“sekarang kamu percaya mukjizat kan?”,
ucap Ary mengagetkan lamunanku.
“iya, aku percaya”, aku tersenyum
lebar.
Sekarang
kita tinggal mencari bagaimana caranya mendapat restu dari orang tuaku. Aku
selalu dan terus berdoa untuk hubungan kita kedepannya. Aku dan Ary hanya bisa
berharap, selebihnya adalah Tuhan yang menentukan. Kita seperti wayang yang
mengikuti naskah dan Tuhan seperti sutradaranya. Aku percaya, apapun yang Tuhan
takdirkan itu adalah yang terbaik untuk umatnya. Aku tidak pernah menyalahkan
Tuhan yang menakdirkan kita berbeda. Aku tetap bersyukur dipertemukan dengan
Ary, karena kita banyak belajar dari apa yang kita jalani selama ini. Aku juga
tidak akan menyalahkan Tuhan apabila nanti kita tidak bisa melanjutkan hubungan
ini. Aku tidak akan memaksakan kehendakku, karena cinta tidak harus memiliki.
Aku yakin, jodoh kita sudah disiapkan Tuhan.
No comments:
Post a Comment