Tuesday, February 19, 2013

“Tuhan Memang Satu Kita Yang Tak Sama”

Share it Please


“Tuhan Memang Satu Kita Yang Tak Sama”
Oleh : Alinda Permatasari

“Because I’m naughty naughty, hey.. I’m Mr.Simple. Because I’m naughty naughty..”. Jam 00.00 tepat alarm diponsel ku berbunyi,menandakan hari ini adalah tanggal 24  juli. Sebenarnya sampai detik itu pun aku belum tidur, mataku masih terjaga menunggu saat-saat yang menurutku penting.  Ya, hari ini adalah hari ulang tahunku tepatnya yang ke-17. Aku sangat menunggu-nunggu hari spesial ini, padahal entah apa yang  akan terjadi hari ini aku tidak tahu pasti hari ini akan menyenangkan atau tidak. Aku hanya bisa berdoa semoga hari ini indah dan tidak mengecewakan karena sudah berharap banyak.
Tak lama aku tinggal ke kamar kecil, ku lirik ponsel ku yang berada disamping bantal berkedip-kedip merah, ku lihat ada beberapa mention masuk ditwitter.
“selamat ulang tahun @alindaPepe, semoga panjang umur dan sehat selalu serta dimudahkan dalam mencapai cita-citanya”, ucap Aa Ucup dari akun twitternya, Selasa 24 juli 2012 00:01 melalui Hotot for Chrome.
Selang satu menit dari mention sebelumnya, ada mention yang belum ku baca dan ternyata dari orang yang ku tunggu-tunggu.
            “happy birthday @alindaPepe, semoga dilancarkan dalam segala hal. Download-nya cepat selesai hehe. Amin. God bless you”. Simple tetapi penuh arti! Aku langsung paham dengan kode atau istilah ‘download’ tersebut. Betapa girangnya aku mendapat ucapan dari nya.
Mention terakhir yang ku terima pada saat itu adalah dari teman sekelasku Diky.
“happy milad cewek jomblo!!”,  ucap Diky.
Membacanya aku hampir pingsan karena malu dengan ucapannya tersebut. Entah hanya berniat memberi ucapan selamat ulang tahun atau ada maksud lain aku tidak tahu, yang aku tahu itu terdengar seperti ledekan yang biasa dia lontarkan padaku, “cewek jomblo”. 
Aku mulai mengetik, aku membalas mention-mention yang masuk tersebut. Tidak terkecuali ucapan dari Diky yang sebenarnya tidak butuh balasan.
            “terimakasih Dik!”, balasku ketus.
            Aku mencoba tidur karena waktu sudah menunjukan pukul 00.20 walaupun sebenarnya aku belum mengantuk, tetapi jam 03.30 aku harus bangun lagi untuk makan sahur dan tentunya aku harus pergi sekolah dan tidak boleh terlambat.
***
Awalnya selama di sekolah aku merasa tidak ada yang spesial, karena semua tampak seperti biasanya. Setelah bel pulang aku memang tidak langsung pulang karena ada janji untuk kumpul ekskul cheerleader di pohon asam. Aku berniat untuk menyampar temanku Vera dan Ratih yang ada di kelasnya untuk sama-sama kumpul dengan anggota cheerleaders lain. Tetapi setelah berada di kelasnya, perasaanku mulai tidak enak karena mereka mengajak ku untuk duduk dan tampak seperti menahanku untuk pergi dari sana.
Tak lama kemudian aku bertemu Ary, dia adalah orang yang aku tunggu-tunggu yang ku maksud tadi. Dia mengampiriku, aku tau ini akan terjadi karena kemarin dia sudah bilang padaku bahwa dia ingin bicara sesuatu. Tapi alangkah terkejutnya aku saat dia mengatakan “kamu mau nggak jadi pacar aku?”
Setengah tertawa namun bahagianya luar biasa saat mendengarnya itu, karena sudah lama aku ingin mendengar dia mengatakan itu langsung dihadapanku. Aku tak butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaannya tersebut. Aku langsung mengiyakan nya, karena kurasa proses kita sampai seperti sekarang itu sudah cukup lama dan panjang.
            “mmm.. iya aku mau.”, ucap ku pelan.
            “apa?beneran?kamu serius?”, timbal Ary padaku dengan ekspresi khas nya.
            “iya,beneran. Aku mau jadi pacar kamu.”, balas ku malu.
“makasih Lin,maksih banyak ya!”, ucap Ary sambil menatapku dengan tatapan yang belum pernah aku lihat.
Aku merasa sejak tadi ada yang menguping pembicaraan ku berdua dengan Ary. Benar saja, setalah kami bangun dari tempat duduk tampak Vera dan Ratih bersorak, “yeeeeeaaaaah akhirnya jadian juga!!”.
Aku sangat malu, tetapi belum sempat aku menghela nafas Vera, Ratih dan Ary sudah menyeretku kembali ke kelas yang ternyata teman-teman sekelasku sudah menyiapkan surprise dengan kue tar kuning dan balon-balon serta pinata sambil menyanyikan lagu “happy birthday”. Terharu sekali aku berada dalam suasana seperti itu, teman-teman yang care serta pacar baru yang sudah lama aku harapkan berkumpul merayakan hari spesialku itu.
***
            “Orang yang ada dihadapanku tadi, sekarang pacarku? Teman saat kelas X ku dulu, sekarang pacarku? Ary Pardomuan Silitonga, sekarang pacarku?”, terlintas pertanyaan konyol yang ada didalam lamunanku, seakaan tak percaya dengan kenyataan yang ada saat ini. Awalnya aku bingung harus senang atau sedih, jadian dengan dia adalah salah satu harapanku semenjak beberapa waktu lalu, aku juga senang dihari ulang tahunku ini terasa makin sempurna berkat kehadirannya. Tapi, tahukah dia jika aku sedih apabila mengingat perbedaan diantara kita? Kurasa ini perbedaan yang sangat muthlak. Yaa.. masalah kepercayaan. Memang sih masalah perbedaan agama dan kepercayaan dalam suatu hubungan itu relatif, tergantung dari orang itu menyikapinya. Tetapi bagiku ini bukan masalah kecil, mengingat aku banyak berharap dari hubungan kita kelak. Walaupun aku sudah pernah dan sering memikirkan masalah ini jauh sebelum kita jadian, namun jawabannya semakin membuatku bingung dan rasanya seperti buntu tidak ada jalan keluar. Sempat terpikir aku tidak akan menerimanya jika dia menembakku, walaupun rasanya tidak ingin melakukannya. Bayangkan saja bagaimana rasanya membohongi perasaan sendiri, sakit bukan?. Namun entah apa yang membuatku berubah pikiran, yang jelas pada saat itu aku seperti tidak berpikir panjang.
Sebagian besar remaja seumuran kita mungkin memang pacaran tidak dianggap serius, just for fun deh pokoknya. Tetapi bagiku pacaran itu butuh komitmen, yaaa.. memang sih untuk remaja labil sepertiku rasanya terlalu berat dan terlalu jauh untuk memikirkan ke tahap yang lebih serius. Tetapi bukan tidak mungkin kan, hubungan yang dijaga dengan baik dari sekarang bisa berlanjut sampai kita dewasa nanti. Apa salahnya? Jadi kurasa pacaran juga tidak boleh asal, asal pilih, asal suka, asal jadi.
Nah, dari pola pikirku seperti itulah yang membuat aku tidak tidur seharian ini. Bagaimana bisa suatu hubungan bisa berjalan dengan baik apabila terdapat banyak perbedaan diantara keduanya? Beda latar belakang, dia batak aku sunda, dia kristen aku islam, aaah pokoknya masih banyak lagi!.
***
Hari-hariku penuh dengan Ary. Hampir tidak pernah aku merasa sepi semenjak ada dia, mungkin karena sifatnya yang ramah, selalu ceria dan pastinya humoris. Yaaa.. itu memang image-nya, ku yakin semua orang tahu itu. Coba saja tanya anak-anak satu sekolah ini! Siapa sih yang tidak tahu tentang hal itu?.
Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa aku menyukainya. Tetapi sekarang aku dapat mengenalnya lebih dari yang orang lain kenal, aku merasa beruntung bisa merasakan kasih sayang seorang Ary.
Sehari dua hari, seminggu dua  minggu, sampai satu bulan lebih saat ini kita semakin mengenal satu sama lain, kita saling support, saling mengerti dan tentu kita saling menghargai perbedaan diantara kita yang kadang sangat terlihat dan menonjol atau kadang seakan melebur menjadi satu. Tetapi tidak dipungkiri juga bahwa aku sering merasakan egonya Ary muncul, aku tau agamanya adalah yang terbaik baginya, begitu pula bagiku, agamaku adalah yang terbaik bagiku. Kita tidak akan pernah menyatu dalam masalah itu. Karena pada saat seperti itu aku merasa sangat berbeda dengan Ary.
            Suatu hari Ary pernah mengajakku bicara, wajahnya tampak serius, tidak seperti biasanya. Tidak ada roman ceria atau canda disela pembicaraannya itu.
“lin, kamu tau kan aku sebelumnya nggak pernah pacaran sama orang yang beda agama?”, tanyanya to the point.
            “ya aku tau, aku juga begitu.”, jawabku heran.
“bahkan kamu juga tau kan aku jarang banget pacaran?”, suaranya makin tinggi.
“ya, aku juga tau. emang kenapa?”
“ aku juga nggak pernah mengenalin pacar aku ke orang tua.”
“terus? Aku nggak ngerti apa yang kamu omongin.”, aku semakin heran.
“kakakku tau kita pacaran, kakakku juga tau kita ‘beda’, rasanya kakakku  tidak suka dengan.....”, dia berhenti bicara sambil menundukan kepalanya.
Aku diam, sungguh aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku menunggu dia bangun dan melanjutkan pembicaraan.
“kakakku bilang aku harus belajar serius, nggak boleh pacaran, apalagi sama cewek yang beda agama.”, matanya berkaca-kaca.
Aku masih belum bisa bicara apapun, aku terpaku menatap matanya. Tidak pernah sebelumnya aku melihat Ary seperti ini. Jujur, aku sedih mendengarnya. Hatiku sakit!.

“haha.. Oya? kengapa begitu? Apa kamu jadi malas belajar karena aku?”, aku berusaha mencairkan suasana.
“bukan, bukan begitu.”
“lalu kengapa? Apa aku buat kamu jadi anak yang nakal?”, aku menggodanya, aku merangkul pundaknya.
“nggak nggak sama sekali! Aku merasa semenjak ada kamu aku banyak berubah, aku merasa menjadi lebih baik.”, dia seperti berusaha meyakinkanku.
“biar aku pergi menjauh dari kamu yaaa.. mungkin ini yang terbaik.”, aku tersenyum walau dalam hati menangis.
Aku langsung meninggalkannya, aku menuju kelasku. Aku pun segera meninggalkan kelas ketika bel pulang berbunyi. Memang tidak seperti biasanya, karena biasanya Ary selalu ke kelasku setelah bel pulang dan kita selalu pulang bersama-sama.
            Sampai dirumah aku ingin sekali melupakan apa yang Ary bicarakan. Aku ingin menganggap semua baik-baik saja. Tetapi malah sebaliknya, aku terus memikirkannya.
“Ya Allah, aku tau ini pasti akan terjadi. Aku tau ini hubungan ini tidak akan semudah dan selancar seperti yang kita harapkan, aku tau akan seperti apa jadinya reaksi atau respon dari orang disekeliling kami, terutama keluarga kami. Ya Allah, aku ingin tetap bersamanya, aku bahagia dengannya. Jika dia jodohku maka dekatkanlah, mudahkan jalan kami. Tetapi jika dia bukan jodohku maka berikan yang lebih baik darinya.”, keluhku dalam hati sambil menatap fotoku bersama Ary, tak sadar air mataku berlinang. Aku tidak ingin menangis, aku sedang berpuasa. Aku berpikir lebih baik aku shalat, lalu aku segera menghapus air mataku dan berwudhu.
Aku merasa lebih baik setelahnya. Aku juga sudah jauh lebih tenang.
***
            Keesokan harinya aku mulai bersikap seperti biasa lagi setelah sebelumya kemarin semenjak kejadian itu aku mengabaikan semua SMS dari Ary. Aku sadar ini bukan kehendaknya, bukan kemauannya juga. Maka, setelah kita menyelesaikan masalah kemarin, kita menemukan jalan keluar yaitu apapun masalahnya kita akan hadapi sama-sama. Walaupun dikatakan jika kita disatukan untuk dipisahkan tetapi kita percaya mukjizat itu ada dan kita percaya akan hal itu, karena ku yakin pada intinya semua ajaran agama adalah sama. Tuhan memang satu, tetapi kita yang tak sama.
            Sekarang aku menanggapi masalah tersebut dengan santai. Kita menjalani hari-hari seperti biasa, hanya saja kita tidak pernah menunjukkan kemesraan kita lagi di dunia maya seperti di twitter atau akun jejaring sosial kita lainnya. Berhubung masalah ini berawal mula dari mention-mention-an ku dengan Ary di twitter yang mungkin dianggap atau terlihat sangat akrab dan intim oleh kakaknya Ary tersebut. Ary bilang kakaknya itu sering nge-stalk timeline-ku. Dia mencari tau banyak tentang aku dari profil dan tweet-tweet-ku yang aku update. Maka dari itu, mulai saat ini kita sepakat untuk backstreet dari keluarga kita masing-masing. Kita sangat menjaga sekali privacy kita berdua dari keluarga kita.
***
“aku takut pulang, aku nggak mau pulang.”, ucap Ary padaku saat kita berada disebuah rumah makan usai buka puasa bersama.
“apa? Kenapa?”
“aku nggak siap, aku nggak mau pulang!”, Ary semakin gerah.
“ayo ceritain, apa yang bisa aku bantu?”, aku menanggapi dingin.
“kakakku yang kemarin aku ceritain.....”
“iya? Kenapa? Apa ada masalah lagi?”, aku tetap tersenyum, aku tidak ingin sekalipun dia melihat aku bersedih karena masalah ini. Aku ingin yang dia tau aku selalu ceria dihadapannya
“hari ini dia pulang ke Karawang, aku membayangkan dia mengatakan semuanya tentang hubungan kita pada orang tua ku.”, mukanya memucat.
“hadapi! Jangan takut sayang! Bukankah kita udah pernah ngomongin tentang hal ini? Bukankah kita percaya mukjizat?”, aku selalu tersenyum mengahadapi Ary yang ku tau ternyata dia tidak lebih dewasa dariku.
Dia diam, tidak mengatakan apapun lagi setelah aku bicara seperti itu. Saat itu juga aku sedih, jauh lebih sedih dari apa yang Ary rasa. Bisa-bisanya aku menasehati dia, mengatakan ini itu lah, padahal jika aku menengok ke dalam diriku sendiri aku belum tentu mampu menghadapinya.
            Aku sebenarnya tidak biasa menutup-nutupi segala sesuatu dari kedua orang tua, terutama mamahku. Biasanya aku mengenalkan pacarku ke rumah, atau kalau belum sempat aku kenalkan, mamah sudah tau bahwa aku cowok yang sering main ke rumah atau sekedar mengantarku pulang itu adalah pacarku.
Tetapi kali ini sepertinya aku berhasil menutupi semuanya, sejauh ini kedua orang tuaku belum tau dan ku harap sih tidak akan pernah tau. Aku semakin bingung karena aku takut sekali mengenalkan dan membawa Ary ke rumah, aku berpikir pasti kedua orang tuaku tidak akan mengijinkan aku berhubungan dengan Ary karena alasan perbedaan agama itu. Sekalipun boleh, mungkin hanya menjadi teman saja. Tentu itu jauh dari apa yan kit aharapkan. “Ya Allah.. ini rumit sekali, aku tertekan! Aku tidak sanggup.”, jeritku dalam hati.
Karena ini sudah malam, akhirnya kita pulang.
“Jujur aku benci perpisahan, karena hari ini Sabtu dan besok adalah Minggu. aku sangat membencinya. Aku benci hari minggu, karena aku tidak dapat bertemu denganmu! Tak peduli dalam satu minggu tidak ada libur sekolah, yang penting aku tetap bisa bertemu denganmu!”, teriakku setangah menangis sambil memukul dadanya.
“aku juga, aku nggak bisa kalau nggak melihat kamu sehari, rasanya....”, balas Ary tersenyum manis sekali.
***
“dibawah langitMu bersujud semua memuji memuja asmaMu....”, itu adalah sepenggal bait lagu dari penyanyi religi Opick yang biasa digunakan sebagai tanda bel pulang di sekolah. Aku sangat menanti-nantikan nya, tetapi kuyakin semua anak juga sama sepertiku.
Aku baru saja keluar kelas, tetapi Ary langsung menarikku membawaku ke joglo.
            “cepatan ih, aku mau ngomong sesuatu!”, ucap Ary dengan semangat.
            “iya sebentar dong sayang,sabar”
            “aku seneng banget! Seneng bangeeeet!”, Ary merangkulku.
            “ada apa?kenapa?”, aku penasaran.
            “papah setuju, lin! Dia gak marah!”
            “apa? Beneran?”
            “iya, semalam kakakku pulang, dia aduin soal hubungan kita. Aku pikir papah bakal marah.”
            “terus papah kamu bilang apa?”, aku seperti tidak percaya.
            “kalau pacaran jangan berlebihan, jangan ganggu belajar. Soal beda agama, asal iman kamu tetep kuat dan nggak terpengaruh, papah mah nggak apa-apa”, Ary menceritakan apa yang papahnya katakan.
            “alhamdulillah.. aku seneng banget dengernya!”, aku meraih tangan Ary.
            “puji tuhan ya..”, timbal Ary.
Aku lega sekali mendengarnya, ini seperti jawaban dari doa ku dan Ary selama ini. Aku bahagia sekali, aku hampir tidak bisa mengungkapkannya. Ini seperti
            “sekarang kamu percaya mukjizat kan?”, ucap Ary mengagetkan lamunanku.
            “iya, aku percaya”, aku tersenyum lebar.
Sekarang kita tinggal mencari bagaimana caranya mendapat restu dari orang tuaku. Aku selalu dan terus berdoa untuk hubungan kita kedepannya. Aku dan Ary hanya bisa berharap, selebihnya adalah Tuhan yang menentukan. Kita seperti wayang yang mengikuti naskah dan Tuhan seperti sutradaranya. Aku percaya, apapun yang Tuhan takdirkan itu adalah yang terbaik untuk umatnya. Aku tidak pernah menyalahkan Tuhan yang menakdirkan kita berbeda. Aku tetap bersyukur dipertemukan dengan Ary, karena kita banyak belajar dari apa yang kita jalani selama ini. Aku juga tidak akan menyalahkan Tuhan apabila nanti kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku tidak akan memaksakan kehendakku, karena cinta tidak harus memiliki. Aku yakin, jodoh kita sudah disiapkan Tuhan.

No comments:

Post a Comment

About