Tuesday, April 21, 2015

Hukum Perikatan dan Perjanjian

Share it Please
Pengertian Perikatan
Perkataan “perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).
            Adapun yang dimaksudkan dengan “perikatan: ialah; suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang member hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa :
1.      Menyerahkan suatu barang
2.      Melakukan suatu perbuatan
3.      Tidak melakukan suatu perbuatan

Dasar hukum perikatan
Berdasarkan Undang-undang terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2.      Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata.
3.      Perikat-perikat yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum.

Asas-asas dalam Hukum Perjanjian
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
1.      Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.      Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah:
1.      Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2.      Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3.      Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4.      Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Wansprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

 Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni:
1.      Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni :
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

Hubungan Perikatan dan Perjanjian
ssKontrak atau perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Pengertian kontrak atau perjanjian, dalam setiap literatur didasarkan pada Pasal 1313, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan degan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/ lebih.
Subekti memberikan uraian tentang perbedaan, perikatan, perjanjian, dan kontrak dengan beberapa ciri khas tersendiri:
1.      Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu
2.      Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
3.      Kontrak merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tertulis.
Baik istilah perjanjian, perikatan, mapun kontrak masing-masing memilki keterkaitan. Oleh karena perjanjian merupakan sumber perikatan yang terpenting, ataukah perikatan merupakan pengertian abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa. Perikatan sebagai suatu bentuk persetujuan atau persesuaian kehendak diantara para pihak masih bersifat abstrak, tetapi ketika dituangkan dalam perjanjian tertulis,  maka hal itu nyata sebagai suatu perjanjian, yang demikianlah disebut kontrak.
Dalam ensiklopedi Indonesia, hukum kontrak adalah rangkaian kaidah-kaidah hukum yang mengatur berbagai persetujuan dan ikatan antara warga-warga hukum.
Defenisi tersebut menyamakan istilah kontrak (perjanjian) dengan persetujuan, padahal antara keduanya berbeda. Kontrak merupakan salah satu sumber perikatan sedangkan persetujuan salah satu syarat sahnya kontrak. Dengan adanya beberapa kelemahan tersebut, maka Salim, H.S,  mengemukakan, kontrak adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.

Hapusnya Perikatan
            Pasal 1381 BW Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sepulu :
  1. Pembayaran cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut:
  2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
  3. Pembaruan hutang
  4. Perjumpaan hutang atau Kompensansi
  5. Pencampuran hutang
  6. Pembebasan hutang
  7. Musnahnya barang yg terhutang
  8. Batal atau pembatalan
  9. Berlakunya suatu syarat batal
  10. Lewatnya waktu

            Cara-cara hapusnya perikatan itu akan dibicarakan satu persatu di bawah ini.

1.          Pembayaran
Nama “pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjualpun ikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya. Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga seorang kawan berhutang dan seorang penanggung hutang (“borg”). Menurut pasal 1332 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan asal saja orang pihak ketiga bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya si berhutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.
Pembayaran harus dilakukan kepada siberpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh Undang-undang untuk menerima pembayaran-pembayaran bagi si berpiutang. Pembayaran yang dilakukan kepada seorang yang tidak berkuasa menerima bagi si berpiutang, adalah sah, sekedar siberpiutang telah menyetujuinya atau nyata-nyata telah mendapat manfaat karenanya.
Si debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaraan hutangnya sebagian demi sebagian, meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi.
Mengenai tempatnya pembayaran pasal 1393 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menerangkan sebagai berikut :
“Pembayaran harus dilakukan di tempat yang telah ditetapkan dalam perjanjian, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran yang mengenai suatu barang tertentu, harus dilakukan di tempat dimana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat.
Diluar kedua hal tersebut, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang, selama orang itu terus-menerus berdiam dalam keresidenan dimana ia berdiam sewaktu dibuatnya perjanjian, dan di dalam hal-hal lainya di tempat tinggalnya si berhutang”.
Ketentuan dalam ayat pertama yang menunjuk pada tempat dimana barang berada sewaktu perjanjian ditutup, adalah sama dengan ketentuan dalam pasal 1477 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam jual beli, dimana juga tempat tersebut ditunjuk sebgai tempat dimana barang yang dijual harus diserahkan. Memang sebagaimana sudah diterangkan “pembayaran” dalam arti yang luas juga ditunjukan pada pemenuhan prestasi oleh si penjual yang terdiri atas penyerahan barang yang telah diperjual belikan.
Ketentuan dalam ayat kedua, berlaku juga dalam pembayaran-pembayaran dimana yang dibayarkan itu bukan suatu barang tertentu, jadi uang atau barang yang dapat dihabiskan. Teristimewa ketentuan tersebut adalah penting untuk pembayaran yang berupa uang. Dengan demikian maka hutang-hutang yang berupa uang pada azasnya harus dibayar di tempat tinggal kreditur, dengan perkataan lain pembayaran itu harus dihantarkan. Hutang uang yang menurut undang-undang harus dipungut di tempat tinggalnya debitur hanyalah hutang wesel.
Sesuai dengan ketentuan tersebut diatas maka oleh pasal 1395 ditetapkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran harus dipikul oleh debitur.
Suatu masalah yang muncul dalam soal pembayaran, adalah masalah subrogasi atau penggantian tersebut diatas dapat terjadi baik dengan perjanjian, baik demi undang-undang.
Dari apa yang telah dibicarakan di atas, dapat dilihat bahwa jika seorang membayar hutangnya orang lain, maka pada umumnya tidak terjadi subrogasi, artinya : pada umumnya orang yang membayar itu tidak mengantikan kreditur. Hanya apabila itu dijanjikan atau dalam hal-hal di mana itu ditentukan oleh undang-undang, maka barulah ada penggantian.

2.          Penawaran Pembayaran Tunai diikuti Pemyimpanan atau penitipan
Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila siberpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut : barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari barang-barang atau uang yang akan dibayarkan itu dan pergilah ia kerumah atau tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah ebitur dating untuk membayar hutangnya debitur tersebut, pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan ) barang atau uang yang telah diperinci itu. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses verbal. Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya memang sudah dapat diduga mana Notaris/juru sita diatas surat proses verbal tersebut. Dengan demikian terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa siberpiutang telah menolak pembayaran. Langkah yang berikutnya ialah : si berhutang (debitur) dimuka pengadilan negri dengan permohonan kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpankan atau dititipkan kepada panitera Pengadilan Negeri dengan demikian hapuslah hutang-piutang itu. Barang atau uang tersebut diatas berada dalam simpanan di kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tanggungan atau resiko si berpiutang. Si berhutang sudah bebas dari hutangnya. Segala biaya yang di keluarkan untunk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.

3.          Pembaharuan Hutang atau Inovasi
Menurut pasal 1413 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau novasi  itu, yaitu :
a.      apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang akan menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya.
b.      apabila seorang berhutang baru ditunjukan untuk menggantikan orang berhutang lama , yang oleh si berpihutang dibebaskan dari perikatannya.
c.       apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama , terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikataanya.
Novasi yang disebutkan pada (a), dinamakan novasi obyektif, karena yang diperbaharui adalah obyeknya perjanjian, sedangkan yang disebutkan pada (b) dan (c) dinamakan novasi subyektif< karena diperbaharui disitu adalah subyek-subyeknya atau orang-orangnya dalam perjanjian. Jika yang diganti debiturnya (b) maka novasi itu dinamakan subyektif pasif, sedangkan apabila yang diganti itu kreditur (c) novasi dinamakan subyektif aktif.

4.          Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
Ini adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang-piutang secara bertimbal balik antara kreditur dan debitur.
Jika dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah diterangkan oleh pasal 1424 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal tersebut selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan setidak tahunya orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Agar supaya dua hutang dapat diperjumpakan, maka perlulah bahwa dua hutang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih.
Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa hutang-piutang antar kedua belah pihak itu telah dilahiran, terkecuali :
1.      Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya.
2.      Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititpkan atau dipinjamkan
3.      Terdapat sesuatu barang yang bersumber kepada tunjangan nafkah yang telah ditanyakan tak dapat disita (alimentasi). Demikianlah dapat dibaca dari pasal 1429 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Maksudnya adalah terang jika kita memperkenankan perjumpaan  dalam hal-hal yang disebutkan di atas, maka itu akan berarti mengesahkan seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan huku. Maka dari itu pasal tersebut di atas mengadakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang disebutkan itu.

5.          Percampuran Hutang
Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) berkumpul pada satu orang , maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang piutang itu dihapuskan. Misalnya , sidebitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang-piutang dalam hal percampuran ini, adalah betul-betul ”demi hukum” dalam arti otomatis.
Percampuran hutang yang terjadi pada dirinya si berhutang utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung hutangnya (borg) sebaliknya percampuran yang terjadi pada seorang penanggung hutang (borg) tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok.
6.          Pembebasan Hutang
Teranglah, bahwa apabila si berpihutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan- yaitu hubungan hutang-piutang hapus, perikatan ini haapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu hutang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara suka rela oleh si berpihutang kepada si berhutang, merupakan suatu bukti tentang pembebasan hutangnya, bahkan terhadap orang-orang lain yang turut berhutang secara tanggung menanggung. Pengembalian barang yang diberikan dalam gadai atausebagai tanggungan tidaklah cukup dijadikan persangkan tentang dibebabskannya hutang. Ini sebabnya tidak perlu diterangkan, sebab perjanjian gadai (pand) adalah suatu perjanjian accessoir yang artinya suatu buntut belaka dari perjanjiannya pokok, yaitu perjanjian pinjam uang.

7.          Musnahnya Barang yang Terhutang
Jika barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalah siberhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu (misalnya terlabat), iapun akan bebas dar perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusna barang ini disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut toh juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada ditangan kreditur.
Apabila siberhutang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa seperti diatas telah dibebaskan dari perikatannya terhadap krediturnya, maka ia diwajibkan menyerahkan kepada kreditur itu segala hak yang mungkin dapat dilakukannya terhadap orang-orang pihak ketiga sebagai pemilik barang yang telah hapus atau hilang itu.

8.          Kebatalan/Pembatalan
Meskipun disini disebutkan kebatalan dan pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau kita melihat yang diatur oleh pasal 1446 yang selanjutnya dari kitab undang-undang hukum perdata ternyatalah bahwa ketentuan-ketentuan disitu kesemuanya mengenai “pembatalan”. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak hapus.
Yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya adalah pembatalan perjanian-perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan (vernietigbar atau voidable) sebagaimana yang sudah kita lihat pada waktu kita membicarakan tentang syarat-syarat untuk suatu perjanjian yang sah (pasal 1320).
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara : pertama, secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat dimuka hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengaku tentang kekuarangannya perjanjian itu.

9.          Berlakunya Suatu Syarat Batal
Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan dating dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menanggung lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan yang semacam terakhir itu dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
Dalam hukum perjanjian azasnya syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada sesuatu perjanjian, demikianlah pasal 1265 kitab undang-undang hukum perdata. Dengan demikian maka syarat batal itu mewajibkan siberhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.

10.      Lewatnya Waktu
Menurut pasal 1946 kitab undang-undang hukum perdata yang dinamakan “daluwarsa” atau “lewat waktu” ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya sewaktu-waktu tertentu atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitip” sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctip”. Daluwarsa yang pertama tadi sebaiknya dibicarakan berhubungan dengan hukum benda. Daluwarsa dari macam yang kedua dapat sekedarnya dibicarakan disini meskipun masalah daluwarsa itu suatu masalah yang memerlukanpembicaraan tersendiri. Dalam kitab undang-undang hukum perdata masalah daluwarsa itu diatur data buku IV bersama-sama dengan soal pembuktian.
Menurut pasal 1967 maka segala tuntuttan hukum baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yangmenunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak mempertunjukkan suatu atas hak lagipula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.
Dengan lewatnya waktu tersebut diatas hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallnh pada suatu “perikatan bebas” (natuurlijke verbintenis) artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut dimuka hakim. Debitur jika ditagih hutangnya atau dituntut dimuka pengadilan dapat memajukan tangkisan (eksepsi) tentang kadaluwarsaannya piutang dan dengan demikian mengelakanatau menangkis setiap tuntutan.

Sumber:
Neltje F. Katuuk, 1994,  Diktat Kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis, Universitas Gunadarma, Jakarta
Sari, Kartika Elsi.2008. HUKUM DALAM EKONOMI. Jakarta: Grafindo Persada



No comments:

Post a Comment

About