Pengertian
Perikatan
Perkataan
“perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan
“perjanjian”, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang
sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal
perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad)
dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang
tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).
Adapun yang dimaksudkan dengan “perikatan: ialah; suatu hubungan hukum
(mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang member hak pada yang
satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang
lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut
dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi
tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang
dapat dituntut dinamakan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa :
1. Menyerahkan
suatu barang
2.
Melakukan suatu perbuatan
3.
Tidak melakukan suatu perbuatan
Dasar
hukum perikatan
Berdasarkan Undang-undang terdapat
tiga sumber adalah sebagai berikut:
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan
(perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari
undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan
perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata.
3. Perikat-perikat yang lahir dari suatu
perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan
dengan hukum.
Asas-asas
dalam Hukum Perjanjian
Asas-asas dalam
hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di
dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian
yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa
perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak
mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian,
azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah:
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang
Mengikatkan Diri
Kata sepakat
antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan
perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari
perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk
membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum,
yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab
yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang
diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Wansprestasi
dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan.
Adapun bentuk
dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa
yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau
akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan
menjadi tiga kategori, yakni:
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur
(Ganti Rugi)
Ganti rugi
sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni :
a. Biaya adalah segala pengeluaran
atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena
kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si
debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan
Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah
diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau
pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan
sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk
memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu
pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237
KUH perdata.
Hubungan
Perikatan dan Perjanjian
ssKontrak atau perjanjian merupakan suatu peristiwa
hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Pengertian kontrak atau
perjanjian, dalam setiap literatur didasarkan pada Pasal 1313, suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan degan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain/ lebih.
Subekti memberikan uraian tentang perbedaan,
perikatan, perjanjian, dan kontrak dengan beberapa ciri khas tersendiri:
1. Perikatan
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu
2. Perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
3. Kontrak
merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tertulis.
Baik istilah perjanjian, perikatan, mapun kontrak
masing-masing memilki keterkaitan. Oleh karena perjanjian merupakan sumber
perikatan yang terpenting, ataukah perikatan merupakan pengertian abstrak
sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa.
Perikatan sebagai suatu bentuk persetujuan atau persesuaian kehendak diantara
para pihak masih bersifat abstrak, tetapi ketika dituangkan dalam perjanjian
tertulis, maka hal itu nyata sebagai suatu perjanjian, yang demikianlah
disebut kontrak.
Dalam ensiklopedi Indonesia, hukum kontrak adalah rangkaian kaidah-kaidah
hukum yang mengatur berbagai persetujuan dan ikatan antara warga-warga hukum.
Defenisi tersebut menyamakan istilah kontrak (perjanjian) dengan
persetujuan, padahal antara keduanya berbeda. Kontrak merupakan salah satu
sumber perikatan sedangkan persetujuan salah satu syarat sahnya kontrak. Dengan
adanya beberapa kelemahan tersebut, maka Salim, H.S, mengemukakan,
kontrak adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum.
Hapusnya
Perikatan
Pasal 1381 BW Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan
sepulu :
- Pembayaran cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara
tersebut:
- Penawaran pembayaran
tunai diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan
- Pembaruan hutang
- Perjumpaan hutang atau
Kompensansi
- Pencampuran hutang
- Pembebasan hutang
- Musnahnya barang yg
terhutang
- Batal atau
pembatalan
- Berlakunya suatu
syarat batal
- Lewatnya waktu
Cara-cara
hapusnya perikatan itu akan dibicarakan satu persatu di bawah ini.
1.
Pembayaran
Nama
“pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam
arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga
pembelian, tetapi pihak penjualpun ikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau
“melever” barang yang dijualnya. Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si
berhutang (debitur) tetapi juga seorang kawan berhutang dan seorang penanggung
hutang (“borg”). Menurut pasal 1332 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa
suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak
mempunyai kepentingan asal saja orang pihak ketiga bertindak atas nama dan
untuk melunasi hutangnya si berhutang, atau jika ia bertindak atas namanya
sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.
Pembayaran
harus dilakukan kepada siberpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang
dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh
Undang-undang untuk menerima pembayaran-pembayaran bagi si berpiutang.
Pembayaran yang dilakukan kepada seorang yang tidak berkuasa menerima bagi si
berpiutang, adalah sah, sekedar siberpiutang telah menyetujuinya atau
nyata-nyata telah mendapat manfaat karenanya.
Si
debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaraan hutangnya
sebagian demi sebagian, meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi.
Mengenai
tempatnya pembayaran pasal 1393 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menerangkan
sebagai berikut :
“Pembayaran
harus dilakukan di tempat yang telah ditetapkan dalam perjanjian, jika dalam
perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran yang mengenai suatu
barang tertentu, harus dilakukan di tempat dimana barang itu berada sewaktu
perjanjian dibuat.
Diluar
kedua hal tersebut, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang,
selama orang itu terus-menerus berdiam dalam keresidenan dimana ia berdiam
sewaktu dibuatnya perjanjian, dan di dalam hal-hal lainya di tempat tinggalnya
si berhutang”.
Ketentuan
dalam ayat pertama yang menunjuk pada tempat dimana barang berada sewaktu
perjanjian ditutup, adalah sama dengan ketentuan dalam pasal 1477 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dalam jual beli, dimana juga tempat tersebut
ditunjuk sebgai tempat dimana barang yang dijual harus diserahkan. Memang
sebagaimana sudah diterangkan “pembayaran” dalam arti yang luas juga ditunjukan
pada pemenuhan prestasi oleh si penjual yang terdiri atas penyerahan barang
yang telah diperjual belikan.
Ketentuan
dalam ayat kedua, berlaku juga dalam pembayaran-pembayaran dimana yang
dibayarkan itu bukan suatu barang tertentu, jadi uang atau barang yang dapat
dihabiskan. Teristimewa ketentuan tersebut adalah penting untuk pembayaran yang
berupa uang. Dengan demikian maka hutang-hutang yang berupa uang pada azasnya
harus dibayar di tempat tinggal kreditur, dengan perkataan lain pembayaran itu
harus dihantarkan. Hutang uang yang menurut undang-undang harus dipungut di
tempat tinggalnya debitur hanyalah hutang wesel.
Sesuai
dengan ketentuan tersebut diatas maka oleh pasal 1395 ditetapkan bahwa biaya
yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran harus dipikul oleh
debitur.
Suatu
masalah yang muncul dalam soal pembayaran, adalah masalah subrogasi atau
penggantian tersebut diatas dapat terjadi baik dengan perjanjian, baik demi
undang-undang.
Dari
apa yang telah dibicarakan di atas, dapat dilihat bahwa jika seorang membayar
hutangnya orang lain, maka pada umumnya tidak terjadi subrogasi, artinya : pada
umumnya orang yang membayar itu tidak mengantikan kreditur. Hanya apabila itu
dijanjikan atau dalam hal-hal di mana itu ditentukan oleh undang-undang, maka
barulah ada penggantian.
2.
Penawaran
Pembayaran Tunai diikuti Pemyimpanan atau penitipan
Ini
adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila siberpiutang
(kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut : barang atau uang yang
akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang
juru sita pengadilan. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari
barang-barang atau uang yang akan dibayarkan itu dan pergilah ia kerumah atau
tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah ebitur
dating untuk membayar hutangnya debitur tersebut, pembayaran mana akan
dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan ) barang atau uang yang telah
diperinci itu. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses
verbal. Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu,
maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya
memang sudah dapat diduga mana Notaris/juru sita diatas surat proses verbal
tersebut. Dengan demikian terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa siberpiutang
telah menolak pembayaran. Langkah yang berikutnya ialah : si berhutang
(debitur) dimuka pengadilan negri dengan permohonan kepada pengadilan itu
supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan maka barang atau uang yang akan
dibayarkan itu, disimpankan atau dititipkan kepada panitera Pengadilan Negeri
dengan demikian hapuslah hutang-piutang itu. Barang atau uang tersebut diatas
berada dalam simpanan di kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tanggungan atau
resiko si berpiutang. Si berhutang sudah bebas dari hutangnya. Segala biaya
yang di keluarkan untunk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan
penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.
3.
Pembaharuan
Hutang atau Inovasi
Menurut
pasal 1413 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada tiga macam jalan untuk
melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau novasi itu, yaitu :
a.
apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna
orang yang akan menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama
yang dihapuskan karenanya.
b.
apabila seorang berhutang baru ditunjukan untuk menggantikan orang
berhutang lama , yang oleh si berpihutang dibebaskan dari perikatannya.
c. apabila sebagai akibat dari suatu
perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang
lama , terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikataanya.
Novasi
yang disebutkan pada (a), dinamakan novasi obyektif, karena yang diperbaharui
adalah obyeknya perjanjian, sedangkan yang disebutkan pada (b) dan (c)
dinamakan novasi subyektif< karena diperbaharui disitu adalah
subyek-subyeknya atau orang-orangnya dalam perjanjian. Jika yang diganti
debiturnya (b) maka novasi itu dinamakan subyektif pasif, sedangkan apabila
yang diganti itu kreditur (c) novasi dinamakan subyektif aktif.
4.
Perjumpaan Hutang
atau Kompensasi
Ini
adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau
memperhitungkan hutang-piutang secara bertimbal balik antara kreditur dan
debitur.
Jika
dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu
perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah
diterangkan oleh pasal 1424 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal tersebut
selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan
setidak tahunya orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang itu yang satu
menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat hutang-hutang itu bersama-sama
ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Agar supaya dua hutang dapat
diperjumpakan, maka perlulah bahwa dua hutang itu seketika dapat ditetapkan
besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih.
Perjumpaan
terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa hutang-piutang antar kedua belah
pihak itu telah dilahiran, terkecuali :
1. Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang
yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya.
2. Apabila dituntutnya pengembalian barang
sesuatu yang dititpkan atau dipinjamkan
3. Terdapat sesuatu barang yang bersumber kepada
tunjangan nafkah yang telah ditanyakan tak dapat disita (alimentasi).
Demikianlah dapat dibaca dari pasal 1429 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Maksudnya adalah terang jika kita memperkenankan perjumpaan dalam hal-hal yang disebutkan di atas, maka
itu akan berarti mengesahkan seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan
huku. Maka dari itu pasal tersebut di atas mengadakan larangan kompensasi dalam
hal-hal yang disebutkan itu.
5.
Percampuran
Hutang
Apabila
kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur)
berkumpul pada satu orang , maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang
dengan mana utang piutang itu dihapuskan. Misalnya , sidebitur dalam suatu
testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya atau si debitur kawin
dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang-piutang
dalam hal percampuran ini, adalah betul-betul ”demi hukum” dalam arti otomatis.
Percampuran
hutang yang terjadi pada dirinya si berhutang utama berlaku juga untuk
keuntungan para penanggung hutangnya (borg) sebaliknya percampuran yang terjadi
pada seorang penanggung hutang (borg) tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya
hutang pokok.
6.
Pembebasan Hutang
Teranglah,
bahwa apabila si berpihutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi
prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan
perjanjian, maka perikatan- yaitu hubungan hutang-piutang hapus, perikatan ini
haapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu hutang tidak boleh dipersangkakan,
tetapi harus dibuktikan.
Pengembalian
sepucuk tanda piutang asli secara suka rela oleh si berpihutang kepada si
berhutang, merupakan suatu bukti tentang pembebasan hutangnya, bahkan terhadap
orang-orang lain yang turut berhutang secara tanggung menanggung. Pengembalian
barang yang diberikan dalam gadai atausebagai tanggungan tidaklah cukup
dijadikan persangkan tentang dibebabskannya hutang. Ini sebabnya tidak perlu
diterangkan, sebab perjanjian gadai (pand) adalah suatu perjanjian accessoir
yang artinya suatu buntut belaka dari perjanjiannya pokok, yaitu perjanjian
pinjam uang.
7.
Musnahnya Barang
yang Terhutang
Jika
barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah
barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau
hilang diluar kesalah siberhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan
juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu (misalnya terlabat),
iapun akan bebas dar perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusna
barang ini disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang
tersebut toh juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada ditangan
kreditur.
Apabila
siberhutang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa seperti diatas telah
dibebaskan dari perikatannya terhadap krediturnya, maka ia diwajibkan
menyerahkan kepada kreditur itu segala hak yang mungkin dapat dilakukannya
terhadap orang-orang pihak ketiga sebagai pemilik barang yang telah hapus atau
hilang itu.
8.
Kebatalan/Pembatalan
Meskipun
disini disebutkan kebatalan dan pembatalan, tetapi yang benar adalah
“pembatalan” saja, dan memang kalau kita melihat yang diatur oleh pasal 1446
yang selanjutnya dari kitab undang-undang hukum perdata ternyatalah bahwa
ketentuan-ketentuan disitu kesemuanya mengenai “pembatalan”. Kalau suatu
perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang
dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum
yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak
hapus.
Yang
diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya adalah pembatalan perjanian-perjanjian
yang dapat dimintakan pembatalan (vernietigbar atau voidable) sebagaimana yang
sudah kita lihat pada waktu kita membicarakan tentang syarat-syarat untuk suatu
perjanjian yang sah (pasal 1320).
Meminta
pembatalan perjanjian yang kekurangan syat subyektifnya itu dapat dilakukan
dengan dua cara : pertama, secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang
demikian itu dimuka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai
digugat dimuka hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengaku
tentang kekuarangannya perjanjian itu.
9.
Berlakunya Suatu
Syarat Batal
Perikatan
bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu
peristiwa yang masih akan dating dan masih belum tentu akan terjadi, baik
secara menanggung lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau
secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa
tersebut.
Dalam
hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termaksud
itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru
akan berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan
yang semacam terakhir itu dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
Dalam
hukum perjanjian azasnya syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat
lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila
terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada
keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada sesuatu perjanjian, demikianlah
pasal 1265 kitab undang-undang hukum perdata. Dengan demikian maka syarat batal
itu mewajibkan siberhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya,
apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.
10. Lewatnya Waktu
Menurut
pasal 1946 kitab undang-undang hukum perdata yang dinamakan “daluwarsa” atau
“lewat waktu” ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan
dari suatu perikatan dengan lewatnya sewaktu-waktu tertentu atas syarat-syarat
yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas
suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitip” sedangkan daluwarsa untuk
dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa
“extinctip”. Daluwarsa yang pertama tadi sebaiknya dibicarakan berhubungan
dengan hukum benda. Daluwarsa dari macam yang kedua dapat sekedarnya dibicarakan
disini meskipun masalah daluwarsa itu suatu masalah yang memerlukanpembicaraan
tersendiri. Dalam kitab undang-undang hukum perdata masalah daluwarsa itu
diatur data buku IV bersama-sama dengan soal pembuktian.
Menurut
pasal 1967 maka segala tuntuttan hukum baik yang bersifat kebendaan maupun yang
bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun,
sedangkan siapa yangmenunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak mempertunjukkan
suatu atas hak lagipula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan
yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.
Dengan
lewatnya waktu tersebut diatas hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallnh
pada suatu “perikatan bebas” (natuurlijke verbintenis) artinya kalau dibayar
boleh tetapi tidak dapat dituntut dimuka hakim. Debitur jika ditagih hutangnya
atau dituntut dimuka pengadilan dapat memajukan tangkisan (eksepsi) tentang
kadaluwarsaannya piutang dan dengan demikian mengelakanatau menangkis setiap
tuntutan.
Sumber:
Neltje F. Katuuk, 1994, Diktat Kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis, Universitas
Gunadarma, Jakarta
Sari, Kartika Elsi.2008. HUKUM DALAM
EKONOMI. Jakarta: Grafindo Persada
No comments:
Post a Comment